NEKA HEMONG HAMI



NEKA HEMONG HAMI
Oleh: Muh. Dliyaul Haq


Suara tawon masih terdengar membisingi di telinga, namun kebisingannya itu perlahan mulai meredup pelan. Mungkin tawon itu kelelahan karena baru saja terbang melintasi rentetan pulau yang bahkan mungkin sempat melintas ke planet lain sebab salah jalan.  Sebenarnya itu bukan tawon biasa, melainkan tawon raksasa yang punya keistimewaan bisa membawa puluhan manusia berjaket SM-3T di dalamnya. Ia baru saja menyinggahkan kami di atas hamparan sarangnya yang besar dan luas. Orang sini menyebutnya Bandara Labuan Bajo.
Baru beberapa menit sampai di terminal pesawat ini namun panasnya sudah menyengat kulit. Memacu berbulir keringat beradu lomba menembus pori yang sempat tersumpal debu yang sudah berkarat. Ku rasa tawon itu telah salah mendaratkan kami ke dalam rice cooker raksasa yang bisa menanak manusia di dalamnya. Namun anehnya banyak orang yang berkunjung di sini, bahkan tak sedikit wisatawan asing sangat antusias berwisata di kawasan ini.  Sesekali ku lempar pandang ke arah turis-turis itu. Melihat perawakannya sebelas lapanbelas dengan perawakan orang pribumi di sini. Mereka berkulit putih, berambut pirang, dan gagah gedhe duwur.  Sesuatu yang masih  terasa asing di mata itu memaksa otak menyusun tanya: dari galaksi mana mereka berasal?
Berjejer travel sudah menunggu di luar bandara. Perjalanan masih akan berlanjut ke kabupaten tempat pengabdian. Tentunya perjalanan masih panjang dan akan memakan waktu ber jam- jam.  Dan asal tahu saja, akses jalan di sini itu seperti soundtrack film kartun Ninja Hatori “Mendaki Gunung, Lewati Lembah”, begitu terus dan berulang ulang. Bagi yang  punya hobi mabuk darat lebih baik pilih jalan kaki saja menuju tempat lokasi pengabdian dari pada nantinya perutnya dikocok-kocok dan kepalanya diguling-guling  lalu di plintir di dalam travel.  Karena itu sangat menyiksa kawan, Swear...!! Tapi bagi teman-teman yang punya cita-cita jadi pembalap namun tidak kesampaian boleh juga coba-coba nge-trek di Sirkuit Manggarai ini. Hanya sedikit catatan, di sini jauh dari rumah sakit.
Namun dibalik keekstriman akses jalan yang kita tempuh itu, ternyata alam disekitar tak henti-hentinya menyuguhkan keindahan luarbiasa yang  pastinya tidak temukan di planet lain. Keempat jempolku tentu masih kurang untuk mewakili simbol apresiasi karya masterpis Tuhan yang tiada duanya ini. Saat itu aku menyadari betapa luas dan megahnya salah satu daratan di bumi  NKRI.
Tak ada rencana bahkan sebelumnya tak ada gambaran khusus untuk mendatangi pulau seribu kemiri ini. Namun aku menyadari di sini lah tujuanku, mengabdi, memberikan lebih dari sekedar untuk kebutuhan diri saya sendiri dengan apa yang saya mampu tanpa bermaksud pamrih kecuali memberi manfaat untuk orang lain dan lingkungan disekitarku.
Sampai di kota Ruteng. Memasuki dataran tinggi rice cooker yang tadinya membuatku gerah telah berubah menjadi mesin freezer raksasa yang menelanku mentah-mentah, suhu menjadi dingin karena kondisi geografis yang berbeda dari sebelumnya. Meskipun begitu suasana di aula Dinas PPO terlihat sibuk, beberapa guru dan kepala sekolah turut hadir disana, beberapa memperhatikan jaket yang tertulis SM-3T dengan wajahnya penuh artikulasi, namun yang lainnya terlihat biasa karena mengerti apa maknanya. Di tengah keramaian itu tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang, ku toleh, dia tersenyum. Lalu menyodorkan tangannya untuk mengenalkan diri. Namaya pak Fil, dari Sekolah Dasar Inpres Bajak Rana. Segera aku sadar kalau beliau adalah salah satu partner guru disana nantinya. Dia datang menjemputku lalu mengajak pergi ke sebuah desa dimana berdiri sekolahan tempatku mengabdi. Dan perjalanan berlajut kesana.
Lagi – lagi alam mempertontonkan pesona naturalnya yang agung. Tebing –tebingnya berjajar menjulang tinggi mebentuk metafora liukan jalan di atas awan. Pohon-pohon kemiri dan persawahan di pertepian turut menyumbang ke eksotisan hayati di horizon WITA ini.  Sekitar seratus kilometer kemudian saya sampai di lokasi tujuan, Dusun Kilit Desa Torongkoe, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Saat pertama kali datang, Orang di sini melihatku seperti aku melihat bule di Labuan Bajo. Apa yang mereka fikir mungkin tidak jauh beda dengan apa yang ada di fikiranku kala itu. Namun mereka semua sangat senang dan welcome dengan kehadirian seseorang beralmamater SM-3T seperti kami. Di Kilit ini aku tinggal dirumah kepala sekolah, kebetulan jaraknya juga tidak jauh dari gedung sekolah.
Berbanding terbalik dengan dikehidupanku yang sebelumnya. Kehidupan di sini sangat sederhana, serba apa adanya namun bersahaja, meski sinyal dan listrik masih menjadi barang yang terbilang sangat langka. Namun aku tetap menyatu pada prinsipku bahwa hidup dimanapun itu sama yang membedakan hanyalah kebiasaan, adat, budaya dan keyakinan semata.
Belum ada sehari, keakrabanku dengan warga mulai melekat. Beberapa warga mengundangku ke rumah mereka. Hampir delapan rumah sudah ku kunjungi. Padahal Kebiasaan di sini jika bertamu harus minum kopi. Jadi tak perlu ku ceritakan lagi berapa cangkir kopi yang berjejal ke lambungku saat itu. Malam berikut aku diundang Bapak Petrus, salah satu warga, untuk datang kerumahnya. Terlihat beberapa tetangga juga ikut berkumpul disana. Tak ketinggalan pula suguhan sejati satu persatu diparkir di atas meja, mereka menyesebutnya kopi Manggarai asli. Bersamaan dengan itu pemantik bensol pun mulai dinyalakan. Lalu asap mulai mengepul menyebar menguasai ruagan. Berbatang rokok pun keluar masuk menyelami mulut bak cemilan pelengkap kopi. Kemudian mulailah perbincangan, istilah di sini ganda – ganda. Terlihat jelas wajah- wajah mereka menggambarkan beberapa keingintahuan yang tak bisa ditutupi. Ada yang hanya sekedar ingin tahu tujuan kedatanganku, usia, orang tua, status dan saudara. Bahkan sampai ada pula yang mau menjodohkanku dengan orang kampung sini. Ole......!! . Begitulah akhirnya ganda-ganda malam itu berjalan seperti manisnya kopi.
Pagi menjelang, Matahari seperti baru saja memenangkan kupon. Sinarnya sumpringah. Kilaunya menembus diantara dedaunan kemiri yang melebat diufuk timur bukit Kilit, lalu meraba kulit hingga terasa menyengat hangat. Orang-orang mulai ramai pergi ke kebun dengan sebilah parang yang tersimpan disisi pinggang sambil menggendong keranjang ukuran sedang di punggungnya, yang berfungsi untuk mengantongi kemiri. Semangat mereka seperti mentari di pagi hari, namun tak mampu menandingi semangatku untuk pergi ke sekolah, bertemu dan berbagi ilmu dengan anak anak disana.
Di tepi jalan kulihat papan bertuliskan SDI Bajak Rana berdiri tegap, meskipun beberapa penyangganya tampak keropos bekas disantap rayap. Kuhentikan langkah sejenak, membiarkan retinaku berkelana mengelilingi bangunan yang mengonggok didepanku itu. Terdapat halaman yang luas. Tertancap tiang tinggi menjulang Merah Putih yang mengangkasa dan berkibar senada harmoni alam. Luar biasa. Piringan Lonceng yang berkarat umur puluhan tahun di sudut bangunan kayu itu juga turut menghiasi ke khasan gedung SD ini. Tak terlewat juga tampak terlihat beberapa wajah polos berseragam Tutwuri Handayani nampak riang beriringan, meskipun di pundak mereka tertopang kayu bakar, juga jerigen sedang yang terisi air. Pemandangan yang belum pernah ku saksikan sebelumnya.
Perlahan ku jejakkan kakiku di sebuah ruangan. Sepertinya rungannya baru direhab. Tembok masih putih bersih. Plafon di dalamnya masih mengeluarkan bau cat ringan. Beberapa buku serta dokumen juga tampak numpuk dan berjejalan di dalam. Kulihat di atas meja terhidang delapan gelas kopi yang masih mengepulkan uap. Senyum–senyum ramah bertebaran di ruangan itu. Guru –guru menyambutku dan mempersilahkan duduk. Perkenalan dimulai. Pak Luren, Ibu Tinsi, Ibu Ati, Pak Yanto, Pak Egis, Pak Dedi dan Pak Fil. Mereka adalah pengajar di SD ini dengan Pak Lauren sebagai kepala sekolah. Akhirnya perkenalan pagi itu mengalir dengan tanya hingga menghulu dengan cerita dan canda.
Kepala sekolah memintaku untuk mengajar bahasa Indonesia kelas Lima dan Enam. Pertama kali masuk di dalam kelas. Suasana tampak sedikit tegang. Semua siswa duduk dengan bagus, namun beberapa terlihat sibuk bermain ingus.  Baju mereka tampak putih kecoklatan, tangan kecil mereka terlihat lusuh mungkin karena habis membopong kayu yang mereka ambil dari hutan. Kumulailah perkenalan. Perkenalanku dengan mereka tidak semudah perkenalanku dengan para guru. Mungkin penyebabnya adalah pemahaman bahasa yang dirasa agak berbeda. Saat itu aku baru mengerti mengapa kepala sekolah memintaku mengajar bahasa Indonesia.
Hari – hari disekolah pun berjalan lancar, beberapa anak mulai mengikuti materi yang ku sampaikan, meskipun tak sedikit yang masih terlihat kebingungan. Namun semangat sekolah mereka trus mengalir bak datangnya air di musim penghujan. Tak jarang aku mengajar sekaligus dua kelas, karena jumlah staf -staf pengajar yang terbatas. Selain Bahasa Indonesia kadang – kadang aku mengajar matematika, mengenalkan mereka tentang jenis flora dan fauna, mengenalkan benua-benua dan pulau-pulau di Nusantara, sampai mengenangkan jasa-jasa para pahlawan pengabdi bangsa yang semua itu tak mereka ketahui sebelumnya.
Terkadang kulihat senyum polos mewarnai wajah-wajah mereka. Namun dibalik semua itu mereka hanyalah seonggok lahan yang masih gersang. Pendidikan pekerti dan ilmu pengetahuan masih sangat sekali diperlukan untuk mengairi dan memupuk mereka agar menjadi subur. Sehingga suatu saat nanti di dalamnya bisa ditumbuhi pohon kekar yang bisa mengakartegakkan tujuan serta neneruskan cita-cita bangsa yang sedang dilanda krisis multi dimensi ini. Yang menjadi masalah, adakah yang mau terus mengairi dan memupuk anak pohon di pelosok hutan gersang seperti disini??? Kata mengabdi saja rasanya tak cukup memberi solusi. Hanya semoga setetes air pengetahuan yang ku berikan nantinya mampu mengobati dahaga akan keingintahuan yang membara di hati mereka.
Kedekatanku dengan para siswa makin semantap kopi campur gula. Pahit dan manisnya saling mengiringi. Kadang-kadang kita saling tukar posisi. Mereka sebagai guru dan aku sebagai muridnya. Kadang mereka mengajariku Bahasa lokal dan sebaliknya aku mengajari mereka  bahasa nasional. Dan akhirnya kita bersimbiosis mutualisme, bagai jalak dan kerbau yang saling membutuhkan.
Keakrabanku dengan siswa tak kalah merekatnya dengan para guru. Disela – sela jam kosong, keakraban itu sering terlihat saat kita belajar komputer bersama meskipun terbatas oleh perangkat. Namun tidak butuh waktu lama kemudian, tampak para guru sudah memegang laptop sendiri-sendiri dan mulai mahir menjentikkan jarinya di atas keyboard.
Masih teringat waktu itu Februari, saat musim Barat datang. Angin seperti baru saja kalah berjudi, mengamuk dan membanting seisi alam di muka bumi sini. Lalu memaksa  mendung meminta petir menampari langit hingga memecundangi matahari dalam misinya menyinari hari. Pepohonan tumbang dimana-mana. Hujan pun berjatuhan hebat. Longsor membombardir perkebunan, jalanan hingga menjamah perkampungan. Musim tahunan ini sedang datang menyambangi Manggarai.
Beberapa sekolah terpaksa diliburkan, namun tidak di SD ku. Kegiatan KBM tetap berlanjut, meskipun hanya beberapa siswa dan guru yang masuk. Kebetulan saat itu ada berkas penting sekolah yang harus segera diserahkan ke Dinas, mengingat waktu itu adalah batas terakhir pengumpulan, jadi kepala sekolah meminta agar data tersebut secepatnya diserahkan. Bagiku ini adalah sebuah misi dari secuil pengabdian yang harus dilaksanakan. Akhirnya aku dan pak Fil siap berangkat dengan masing-masing kendaraan.
Alam masih terlihat kesal. Namun sama sekali tak ku hiraukan. Ku starter Sepeda motor. Perjalanan 100 kiloan meter dimulai. Gerimis ku tepis. Kerikil ku lapis. Tikungan ku hajar. Layaknya Rossi dan Pedrosa dalam aksinya yang saling baku kejar. Disepanjang jalan menuju Ruteng air pun masih berjatuhan. Tampak pula sebagian aspal yang mulai terhimpun longsoran campuran material bumi. Hujan semakin lama semakin menggarang. Dari tebing tampak batu dan pohon tumbang bergelinding menghempas jalan. Segera ku standarkan motorku, membantu pak Fil yang kendaraannya terjebak lumpur, kewalahan. Kupandangi sisi kanan kami jurang. Sementara sisi kirinya tebing lumpur yang siap menerjang. Maju tak bisa mundurpun tak kuasa. Tak ada siapapun, hanya kita berdua disana. Nyawa serasa sudah nampak di ujung mata. Namun dengan kuasa Yang Maha Esa, perlahan lahan motor pak Fil bisa kutarik mundur kebelakang. Perlahan tergerak lalu menjauhi area yang memang sering terjadi bencana itu. Bakali-kali ku ucap syukur kepada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang. Atas segala limpahan rahmat dan ridlanya aku masih diberi kesempatan bernafas untuk melanjutkan sisa pengabdian.
Hari berlalu, tak terasa kebersamaanku dengan masyarakat kian hari kian merekat. Keberadaanku sudah seperti salah satu warna yang turut menghiasi setiap sudut kehidupan di sini. Setiap ada kegiatan atau acara adat lainnya mereka selalu mengajakku turut merapat. Dan meskipun aku satu –satunya muslim disini mereka selalu memberi ruang toleransi. Tak terhitung sudah beberapa kali acara yang ku ikuti dan tak terhitung pula berapa kali mereka memanggilku untuk menyembelih ayam semata-mata untuk menghormati kepercayaan yang ku ikuti.
Namun waktu kian berlabuh, Masa pengabdianku disini seperti musim kopi saat ini, sama – sama mendekati usai. Pertemuan akan mempertemukan perpisahan. Namun dengan perpisahan justru yang akan menumbuhkan benih persaudaraan yang nyata meskipun nantinya angin akan mengakarkan benih itu di tanah yang berbeda. Dari mulut mereka selalu terucap neka hemong hami, jangan lupakan kami. Jangan lupakankan tanah kami di sini yang mulai mengering. Tanah yang daun daunnya juga mulai turut layu dan menguning, yang tak lama lagi akan berjatuhan terbanting oleh hempasan angin. Neka Hemong, di tanah kami yang musim kopi nya sudah mulai usai, namun musim kemiri nya belum juga mulai. Neka Hemong, dengan tanah kami yang saat ini mulai mengeras, menjadi padas yang menutup sumber air hingga enggan lagi tuk mengalir. Neka Hemong, di tanah yang kami yang sepi, di tanah yang tak ramai dengan berbagai macam bentuk polusi dan kolusi. Neka Hemong, dengan jerigen air dan potongan kayu api yang tak pernah absen kami cari saat dingin masih mengabuti matahari. Dan neka hemong, dengan sekolah yang ada di balik bukit, yang berjarak tiga kilo jalan kaki dari rumah kami singgah.
“Mereka selalu bilang tanah kami daerah terdepan, terluar dan tertinggal, namun di sinilah kami dilahirkan di tanah yang teraman, ternyaman dan tertentram. Neka Hemong SDI Bajak Rana, Neka Hemong Kilit, Neka Hemong Hami”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AppSheet - Filter Data Siswa

How to Delete Blank Rows with Google Apps Script

Approval