Banyak Senyuman Di Tengah Keterbatasan



Banyak Senyuman Di Tengah Keterbatasan
Rizki Amalia

Di bawah sinar lampu pelita, saya menuliskan sepenggal kisah tentang Ku bersama mereka. Ya, “Mereka”. Mereka adalah tujuanku. Tujuan mengapa saya bisa sampai di sini, di Nusa Tenggara Timur.
14 Oktober 2013, Saya dan teman-teman Sarjana Mendidik di daerah Tertinggal, Terluar dan Terdepan (SM3T) dari Universitas Negeri Semarang (UNNES) tiba di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Menginjakkan kaki pertama kali di tanah Flores, bagi Saya adalah hal yang luar biasa dan tak pernah terbayangkan. Kami diterima di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dinas PPO) kabupaten Manggarai. Setelah melalui upacara serah terima, diumumkanlah daerah penempatan kami masing-masing dan sampailah nama saya disebutkan. Saya ditempatkan di SMA Negeri 1 Reok. Kemudian, kami berpisah menuju ke tempat tugas masing-masing.
Berangkatlah saya menuju daerah penempatan, yaitu di SMA Negeri 1 Reok. Saya berangkat dengan naik otto truck (Otto adalah bahasa daerah manggarai yang artinya “Kendaraan”). Di sepanjang jalan, saya disuguhkan pemandangan alam yang luar biasa indah. Hamparan pasir putih dan deretan bukit-bukit hijau membuat mata ini enggan berpaling. Sungguh maha karya yang menakjubkan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam bayangan saya, SMA Negeri 1 itu terletak di tengah kota . tetapi apa yang saya bayangkan itu salah.Tibalah saya di Desa Loce, kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai. Saya disambut dengan penuh kegembiraan. Masyarakat desa Loce sangat ramah dan menganggap saya adalah bagian dari mereka. Sebelumnya saya bertanya-tanya, bagaimana reaksi mereka dengan kedatangan saya?, senang kah?marah kah atau biasa saja?, dan pertanyaan saya itu terjawab sudah. Keesokkan harinya saya diperkenalkan dengan seluruh staff guru dan siswa-siswa SMAN 1 Reok. Diperkenalkan di hadapan semua guru dan siswa membuat saya gugup. Semuanya memperlihatkan ekspresi yang bermacam-macam. Ada yang penasaran, ada yang biasa saja, ada yang senyum-senyum sendiri, tetapi tetap saja semua mata tertuju pada saya. Awalnya saya merasa sendiri ditengah-tengah guru-guru dari Loce. Tetapi mereka merangkul saya dan menerima saya dengan tangan terbuka.
Di sini saya tinggal dengan salah seorang guru, namanya ibu eti. Ibu eti dan teman-teman guru lainnya tinggal komplek rumah dinas guru. Jangan bayangkan rumah dinas yang biasa di lihat di televisi atau di pulau jawa pada umumnya, rumah-rumah yang ditempati para guru di sini beralaskan tanah dan anyaman bambu sebagai dindingnya, sangat sederhana. Inilah rumah yang saya tempati selama kurang lebih satu tahun ini.
Hari pertama masuk kelas rasanya seperti akan bertemu dengan seseorang yang kita sukai,deg-degan dan bersemangat. Di sini saya di amanahkan untuk mengajar kelas X. Saya berkenalan dengan siswa-siswa, mereka sangat cantik dan ganteng. Berbeda dengan wajah-wajah orang Jawa, ya memang karena mereka bukan dari pulau Jawa. Itulah Indonesia, terdiri dari berbagai macam pulau dan memiliki keanekaragaman suku dan budaya. Suasana menjadi hening ketika saya masuk ke kelas, kemudian saya memperkenalkan diri, mereka terlihat penasaran dengan saya. “olee, manga ibu guru molas dari Jawa”, itulah bahasa manggarai yang pertama saya dengar dari siswa saya, dan saya bertanya apa artinya?, mereka bilang ada ibu guru cantik dari Jawa. Saya merasa tersanjung dengan pujian mereka. Perkenalan diri sudah saya lakukan di setiap kelas, dan rasa optimis saya dapatkan bahwa kelak satu tahun ke depan saya bisa melaluinya.
Tinggal di pulau yang berbeda, topografi yang berbeda, cuaca yang berbeda, membuat saya harus beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Banyak pengalaman hidup yang saya dapat di sini. Bagaimana cara masyarakat desa Loce menikmati dan bertahan hidup di tengah segala keterbatasan. Hidup di daerah yang tidak ada listrik masuk, tidak ada sinyal, dan untuk mendapatkan air pun kita harus bekerja keras. Tetapi mereka tetap menjalaninya dengan senyuman dan semangat. Mayoritas masyarakat di sini bekerja di kebun. Mereka mengandalkan hidupnya dari hasil kebun. Rata-rata mereka adalah petani sawah ladang, berkebun kemiri, kopi dan jagung. Mereka sangat bergantung sekali dengan alam, termasuk cuaca. Jika musim kemarau datang, siap-siap sudah mereka hanya makan jagung dan daun ubi dan itupun saya alami sendiri. Mungkin karena pengaruh pemanasan global, musim kemarau di sini lebih panjang dari musim hujan. Selain berdampak pada hasil kebun, kemarau panjang juga berdampak pada persediaan air. Mereka harus berjalan berkilometer untuk mendapatkan air bersih. Pernah ada satu kejadian yang membuat saya merasa malu dan harus banyak bersyukur. Suatu hari, saya datang pesiar ke suatu dusun, dan kebetulan di sana ada siswa saya yang tinggal di sana. Mampirlah saya ke rumahnya. Saya di perlakukan dengan sangat baik. Permisi, di tengah rumah yang hanya satu ruangan dan ruang dapur yang menggunakan kayu bakar di bagian luar rumah, mereka menyuguhkan saya makanan yang di luar mereka makan sehari-hari. Mereka tahu kalau saya seorang muslim, jadi mereka suruh saya untuk potong ayam sendiri agar saya juga bisa ikut makan.  Saya tanya dengan siswa saya, apakah kamu dan keluarga sering makan ayam?,dan dia menjawab, tidak Ibu, kami hanya makan nasi dan daun ubi saja, karena Ibu datang, kami siapkan ayam. Mendengar jawabannya saya menjadi sangat terharu, begitu dihormatinya seorang guru di sini. Kemudian, mereka mulai memasak, saya melihat tidak ada kamar mandi ataupun toilet, yang ada hanya kumpulan dirigen air. Saya bertanya, kalau kamu mau mandi atau pergi ke WC, kemana?, dia menjawab kadang saya mandi kadang tidak karena saya harus pergi cari air dulu ibu. “Trus sumber airnya jauh kah?”, saya balik bertanya. “Iya, Ibu, harus jalan kurang lebih setengah jam”. Kemudian saya penasarn dan mengajak mereka untuk ambil air, mereka bilang tidak usah ikut, tetapi saya memaksa. Pergillah kami mencari air. Saya ditemani dengan siswa saya seorang perempuan kelas 1 SMA dan adik-adiknya, mereka kelas 1 dan 2 SD. Benar yang mereka katakan, kurang lebih setengah jam kami tiba di sumber air. Tidak terlihat raut wajah lelah atau keluhan dari mereka, mereka tetap riang gembira. Kami isi dirigen air tersebut. Saya membawa dua dirigen air, siswa saya membawa tiga dirigen air, dua di tangan dan satu di kepala, dan adik-adiknya membawa masing-masing dua dirigen. Jujur, saya merasa sudah lelah melewati jalan yang naik-turun dan berbatu dalam kondisi membawa air di tangan, saya ingin bilang ke mereka untuk istirahat dulu, tetapi mereka terlihat masih menikamti perjalanan. Akhirnya siswa saya bilang,” Ibu capek, istirahat dulu y”, mungkin dia sudah tahu dari wajah saya yang kelelahan. Dari sini saya belajar, harus lebih bersyukur karena begitu mudahnya saya mendapatkan air di rumah, butuh air tinggal putar keran, bahkan sampai membuang- buang air, tidak perlu harus berjalan setengah jam untuk mendapatkan air.
Di sini selain saya belajar bermasyarakat, mendapatkan pelajaran hidup dari mereka, saya juga belajar mengenal budaya dan adat mereka. Di sini ada acara adat untuk mensyukuri hasil bumi pada saat panen tiba namanya “Hang Woja”, kemudian ada acara adat masuk minta, acara itu diadakan ketika ada seorang pria yang hendak melamar seorang gadis. Saya pernah diajak untuk ikut, dan saya rasa acara tersebut unik. Kita diwajibkan memakai kain songke khas manggarai dan untuk yang laki-laki memakai kemeja putih, kain songke dan topi khas manggarai. Keseluruhan acaranya memakai bahasa daerah manggarai, dan saya belum tahu sama sekali, tetapi saya menikmatinya. Selain itu ada juga tariannya, namanya tarian caci dan tarian congka sae. Tarian caci di pertunjukkan pada saat menyambut kedatngan tamu kehormatan, sedangkan tari congka sae di pertunjukkan di acara pernikahan.
Bicara soal pendidikan di sini, sudah ada gedung Sekolah Dasar, Gedung SMP, dan gedung SMA. Tetapi jangan dibayangkan bangunan sekolahnya bagus-bagus seperti di Jawa. Di sekolah tempat saya bertugas hanya ada ruang kelas, kantor guru dan perpustakaan. Tidak ada laboratorium bahasa maupun laboratorium bahasa. Tetapi dengan segala keterbatasan mereka tetap semangat dan rajin untuk berangkat ke sekolah. Jarak antara sekolah dengan rumah-rumah siswa sangat jauh . jarak terdekat 15 menit jalan kaki dan yang paling jauh satu jam berjalan kaki. Tidak ada kendaraan yang mengantar mereka ke sekolah. Banyak siswa-siswa yang berprestasi di sini, baik di bidang akademik maupun non akademik. Sangat di sayangkan kalau mereka sampai putus sekolah hanya karena kondisi daerah mereka yang kurang menunjang. Saya berharap mereka terus menjaga semangat mereka untuk  terus mengejar cita-cita mereka.
Beruntung sekali saya bisa mendapatkan kesempatan dan mengambil  pelajaran hidup di sini, di desa Loce, kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggari, NTT. Bertemu dengan teman-teman yang luar biasa, guru-guru yang tetap semangat memberikan ilmunya untuk anak didiknya dan masyarakat yang tetap penuh senyuman di tengah keterbatsan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AppSheet - Filter Data Siswa

How to Delete Blank Rows with Google Apps Script

Approval